Adat Datuak Katumanggungan adalah aturan adat yang dirumuskan berdasarkan pandangan-pandangan dan masukan yang mendukung paham Datuak Katumanggungan. Ini lazim disebut dengan aliran adat Koto Piliang. Pada prinsipnya adat Datuak Katumanggungan tidak jauh berbeda dengan adat Parpatiah Nan Sabatang. Sebagian orang terlalu membesar-besarkan perbedaan yang ada. Termasuk orang belanda yang dulu ingin memecah belah persatuan masyarakat Minangkabau yang kokoh. Sebagai penjajah, tentu mereka tidak menginginkan persatuan dan kesatuan yang kokoh pada masyarakat Minangkabau.
Sampai sekarang, masih banyak orang yang terjebak dengan kesalahan itu. Kesalah pahaman ini juga dapat ditemukan pada beberapa buku tentang adat Minangkabau. Bahkan ada penulis yang berani menulis bahwa adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang bersifat demokrasi, sedangkan Datuak Katumanggungan bersifat otokrasi. Pendapat ini jelas sangat menyesatkan. Barangkali ini disebabkan oleh analisa yang dangkal dan tidak objektif. Bisa pula disebabkan karena kurangnya tanggung jawab ilmiah.
Bila kita teliti lebih seksama, dan melakukan serangkaian analisa secara ilmiah dan objektif, maka tetap akan didapatkan temuan penelitian, bahwa kedua aliran adat ini murni sebagai demokrasi. Tentu akan mustahil sekali, adat yang otokrasi akan dapat membentuk tatanan hidup masyarakat minangkabau yang sangat demokratis. inilah yang perlu kita pahami.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu, bahwa motto adat aliran Datuak Katumanggungan adalah titiek dari ateh, bajanjang naiek, batanggo turun.( titik dari atas, berjenjang naik, bertangga turun). Apakah motto ini bersifat otokrasi ? Tentu jelas tidak. Seperti kandungan makna dari motto di atas. Titiek dari ateh (titik dari atas) bukanlah berarti bahwa segala ketentuan adat Datuak Katumanggungan mutlak menurut kehendak hati pemimpin. Baik penghulu atau raja di Minangkabau tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tidak ada bukti bahwa adat Datuak katumanggungan memperbolehkan proses seperti itu.
Titik dari atas yang dimaksudkan disini, haruslah sesuai dengan aturan bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dengan kata lain, segala sesuatu yang akan menajadi keputusan pimpinan haruslah terlebih dahulu melewati tahap-tahap pemufakatan, mulai dari tingkatan bawah ketingkatan atas. Untuk penyelesaian sebuah masalah menurut adat Datuak Katumanggungan misalnya. Penyelesaian masalah pada tingkat pertama biasanya dilakukan dalam musyawarah di rumah gadang. Musyawarah ini dipimpin oleh tungganai. Bila masalah ini tidak selesai, maka dilanjutkan dengan musyawarah dengan penghulu kaum. Bila masih belum selesai maka diserahkan pada musyawarah tingkat suku. Sidang ini dipimpin oleh penghulu suku. Penghulu suku dapat membawa masalah ini ke sidang penghulu ampek suku atau penghulu andiko, hingga penghulu pucuk bila masalah masih belum selesai.
Begitu pula dengan hasil keputusan. Hasil keputusan akan disampaikan melalui perwakilan dari atas sampai tingkat bawah. Inilah yang disebut dengan bajanjang naiak, batanggo turun. Jadi jangan hanya menafsirkan kata-kata batitiek dari ateh saja. Maskipun pada adat Datuak katumanggungan raja lebih diakui keberadaannya, namun dalam sistem kepemimpinannya, kekuasaan raja tidaklah mutlak. Ia hanyalah sebagai mandataris dari kekuasaan rakyat. Hal ini sesuai dengan kata-kata berikut :
Dahan kamuniang bialah patah
Asa mangkudu jan sampai punah
Dilahienyo rajo disambah
Dibathin rakyat nan mamarintah
Selanjutnya, pewarisan gelar penghulu menurut adat Datuak Katumanggungan dikenal dengan istilah Patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh, hilang berganti). Bangunan dari pengikut aliran adat Datuak Katumanggungan juga memiliki perbedaan dari bangunan pengikut Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Ciri khas yang mencolok adalah pada lantai rumah yang memiliki anjung. Juga beberapa bagian lainnya.
0 Komentar untuk "Adat Datuak Katumanggungan"