KERAJAAN MINANGKABAU
Pendahuluan
Dalam Buku Menelusuri Sejarah Minangkabau (Kamardi Rais Dt. P Simulie) Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat menceritakan bahwa Suku Bangsa Minangkabau berasal dari Bangsa Wedda yang sampai ke Minangkabau sekitar 2.500 tahun sebelum masehi (SM). Kedatangan ini adalah sebagai lanjutan pengembaraan bangsa yang datang dari Asia Tenggara yang sekitar 600 tahun SM sampai di India Belakang.
Kedatangan rombongan dari India Muka dipimpin oleh Maharajo Dirajo (Zuriyat Iskandar Zulkarnain) yang berlayar dari daerah Indus (Tanah Basa). Sezaman dengan Maharajo Alih dan Maharajo Dipang yang diperkirakan beberapa abad sebelum masehi. Daerah yang mula-mula ditempati oleh rombongan Maharajo Dirajo ialah Labuan di Tambagao, kemudian menurun ke Guguak Kampang, selanjutnya tempat itu mahsyur bernama Guguak Aceh. Di tempat yang baru ini langkah pertama yang mereka lalukan adalah mendirikan Nagari Pariangan, sebagai mana dikisahkan Tambo,
Galundi nan baselo
Sabalah bukik Siguntang
Di batu hamparan putiah
Di bawah banto nan barayun
Di sinan sawah gadang satampang baniah.
Gambaran yang disebutkan tambo itu sesuai dengan ciri dari Nagari Pariangan. Setelah Nagari Pariangan berdiri diikuti dengan didirikannya Nagari Padang Panjang. Inilah nagari pertama yang didirikan di sailiran Batang Bangkaweh, saedaran Gunuang Marapi (2.500 tahun SM). Setelah nagari pertama berdiri, didirikan pula kerajaan pertama di Nagari Pariangan yang dalam tambo disebut Pasamayam Koto Baru sebagai Raja Pertama dipimpin oleh Maharajo Dirajo. Raja ini kemudian menyebut dirinya Sri Maharajo Dirajo (gelar kehormatan), (Kamardi: 2002).
Amaniar Idris mengungkapkan, secara turun temurun di Minangkabau dipercayai, Raja-raja Minangkabau berasal dari Iskandar Zulkarnain (Alex-anderthe great) yang mempunyai tiga putra. Ketiga bersaudara ini; Maharajo Alif menjadi Raja di Turki, Maharajo Japang menjadi Raja di Cina dan Maharajo Dirajo menjadi Raja di Minangkabau. Beliau inilah yang bernama Dt. Sri Dirajo. Datuak Sri Maharajo Dirajo kawin dengan Dewi Mambang Taruna (anak Datuk Parpatiah Nan Sabatang) melahirkan Dewi Kencana (kelak bernama Dara Pelak) dan dengan tuan Gadih Indo Jalito (anak Datuak Katumangguangan) yang melahirkan Dara Jingga. Dara Jingga kelak bernama Bundo, yang kemudian melahirkan Duang Tuanku. Sementara Dara Petak kawin dengan Raja Majapahit Kertarajasa mendapat seorang putra yang diberi nama Adityawarman.
Dalam Buku Menelusuri Sejarah Minangkabau (Kamardi Rais Dt. P Simulie) Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat menceritakan bahwa Suku Bangsa Minangkabau berasal dari Bangsa Wedda yang sampai ke Minangkabau sekitar 2.500 tahun sebelum masehi (SM). Kedatangan ini adalah sebagai lanjutan pengembaraan bangsa yang datang dari Asia Tenggara yang sekitar 600 tahun SM sampai di India Belakang.
Kedatangan rombongan dari India Muka dipimpin oleh Maharajo Dirajo (Zuriyat Iskandar Zulkarnain) yang berlayar dari daerah Indus (Tanah Basa). Sezaman dengan Maharajo Alih dan Maharajo Dipang yang diperkirakan beberapa abad sebelum masehi. Daerah yang mula-mula ditempati oleh rombongan Maharajo Dirajo ialah Labuan di Tambagao, kemudian menurun ke Guguak Kampang, selanjutnya tempat itu mahsyur bernama Guguak Aceh. Di tempat yang baru ini langkah pertama yang mereka lalukan adalah mendirikan Nagari Pariangan, sebagai mana dikisahkan Tambo,
Galundi nan baselo
Sabalah bukik Siguntang
Di batu hamparan putiah
Di bawah banto nan barayun
Di sinan sawah gadang satampang baniah.
Gambaran yang disebutkan tambo itu sesuai dengan ciri dari Nagari Pariangan. Setelah Nagari Pariangan berdiri diikuti dengan didirikannya Nagari Padang Panjang. Inilah nagari pertama yang didirikan di sailiran Batang Bangkaweh, saedaran Gunuang Marapi (2.500 tahun SM). Setelah nagari pertama berdiri, didirikan pula kerajaan pertama di Nagari Pariangan yang dalam tambo disebut Pasamayam Koto Baru sebagai Raja Pertama dipimpin oleh Maharajo Dirajo. Raja ini kemudian menyebut dirinya Sri Maharajo Dirajo (gelar kehormatan), (Kamardi: 2002).
Amaniar Idris mengungkapkan, secara turun temurun di Minangkabau dipercayai, Raja-raja Minangkabau berasal dari Iskandar Zulkarnain (Alex-anderthe great) yang mempunyai tiga putra. Ketiga bersaudara ini; Maharajo Alif menjadi Raja di Turki, Maharajo Japang menjadi Raja di Cina dan Maharajo Dirajo menjadi Raja di Minangkabau. Beliau inilah yang bernama Dt. Sri Dirajo. Datuak Sri Maharajo Dirajo kawin dengan Dewi Mambang Taruna (anak Datuk Parpatiah Nan Sabatang) melahirkan Dewi Kencana (kelak bernama Dara Pelak) dan dengan tuan Gadih Indo Jalito (anak Datuak Katumangguangan) yang melahirkan Dara Jingga. Dara Jingga kelak bernama Bundo, yang kemudian melahirkan Duang Tuanku. Sementara Dara Petak kawin dengan Raja Majapahit Kertarajasa mendapat seorang putra yang diberi nama Adityawarman.
Tentang Kerajaan Minangkabau
Terbakarnya benteng Sungayang tahun 1119 oleh tentara Dharmasraya membuat seluruh penghuni benteng eksodus ke arah kaki gunung Merapi dan akhirnya sampai di Periangan. Datuk Suri Dirajo sebagai kepala suku di Pariangan mengenal asal-usul dari rombongan penghuni benteng yang dipimpin oleh Sri Sultan Maharaja Diraja (SSMD) yaitu masih keturunan Dapunta Hyang yang datang ke Gunung Merapi Th. 250 SM. Menurut sejarah, abad I Dapunta Hyang berlayar ke timur dan akhirnya menetap di Pulau Puja (Pulau Punjung sekarang-Pen) di sinilah cucu-cucu Dapunta Hyang mendirikan kerajaan Minang Kabau. Akibat persaiangan dagang, Raja Hokita Warman masuk islam, terjadilah revolusi istana sehingga raja Indrawarman mati terbunuh dan semua pengikut istana eksodus ke Sungayang dan mendirikan benteng disana. (Marjani: 1987: 38).
Setelah Sri Sultan Maharaja Diraja diterima oleh masyarakat beliau dirajakan di Pariangan dengan nama kerajaan Koto Batu. Dari Prasasti Biaro bertulisan Dewa Nagari dalam bahasa Sangskerta diketahuilah bahwa Sri Sultan Maharaja memeperingati sewindu berdirinya kerajaan Koto Batu dan sekaligus mempersunting adik Dt.Suri Dirajo yaitu Puti Indo Jalito. Setelah 15 tahun menunggu, raja belum juga mendapat keturunan. Atas kesepakatan keluarga istana Sri Sulatan Maharaja Diraja mempersunting anak kepala suku yaitu Puti Cinto Dunie (1143), dua tahun kemudian untuk ketiga kalinya, Sultan kawin dengan anak seorang biarawan yaitu Puti Sedayu.
Tahun 1147 dikenal sebagai tahun keberuntungan, Puti Cinto Dunie melahirkan seorang putra bernama Warama Dewa di beri gelar Dt. Bandaro Kayo berkedudukan di Pariangan. Berikut Puti Sedayu melahirkan pula seorang putra bernama Reno Sidha bergelar Dt. Maharajo Basa (1148). Ditahun ini pula Ibu Suri Puti Indo Jalito melahirkan seorang putra bernama Sutan Paduko Basa yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang orang minangkabau I yaitu Dt. Katumanggungan. Tahun 1150 Sri Sultan Maharaja Diraja wafat, beliau sementara digantikan oleh Ibu Suri Puti Indo Jalito dibantu oleh penasehat kerajaan, Indra Jati bergelar Jati Bilang Pandai.
Atas dorongan keluarga istana, Puti Indo Jalito kawin dengan Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan ini beliau memperoleh putra bernama Jatang Sutan Balun yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang orang Minangkabau ke II yaitu Dt. Perpatih Nan Sabatang. Putra ke II Sakalok Dunia yang kemudian bergelar Dt. Sri Perpatih Nan Banego-nego, Puti Reno Judah, Puti Jamilah dan Mambang Sutan yang bungsu. Runtuhnya Kerajaan Koto Batu, memebuat Puti Indo Jalito memeindahkan kerajaannya ke Dusun Tuo (St. Mahmud 1978 : 18). Dari sinilah Ibu Suri dan Cati Bilang Pandai melaksanakan pemerintahan sampai tahun 1186.
Tahun 1174 Ibu Suri bersama Cati Bilang Pandai sebagai berikut (Bustanul 2000 : 25):
Terbakarnya benteng Sungayang tahun 1119 oleh tentara Dharmasraya membuat seluruh penghuni benteng eksodus ke arah kaki gunung Merapi dan akhirnya sampai di Periangan. Datuk Suri Dirajo sebagai kepala suku di Pariangan mengenal asal-usul dari rombongan penghuni benteng yang dipimpin oleh Sri Sultan Maharaja Diraja (SSMD) yaitu masih keturunan Dapunta Hyang yang datang ke Gunung Merapi Th. 250 SM. Menurut sejarah, abad I Dapunta Hyang berlayar ke timur dan akhirnya menetap di Pulau Puja (Pulau Punjung sekarang-Pen) di sinilah cucu-cucu Dapunta Hyang mendirikan kerajaan Minang Kabau. Akibat persaiangan dagang, Raja Hokita Warman masuk islam, terjadilah revolusi istana sehingga raja Indrawarman mati terbunuh dan semua pengikut istana eksodus ke Sungayang dan mendirikan benteng disana. (Marjani: 1987: 38).
Setelah Sri Sultan Maharaja Diraja diterima oleh masyarakat beliau dirajakan di Pariangan dengan nama kerajaan Koto Batu. Dari Prasasti Biaro bertulisan Dewa Nagari dalam bahasa Sangskerta diketahuilah bahwa Sri Sultan Maharaja memeperingati sewindu berdirinya kerajaan Koto Batu dan sekaligus mempersunting adik Dt.Suri Dirajo yaitu Puti Indo Jalito. Setelah 15 tahun menunggu, raja belum juga mendapat keturunan. Atas kesepakatan keluarga istana Sri Sulatan Maharaja Diraja mempersunting anak kepala suku yaitu Puti Cinto Dunie (1143), dua tahun kemudian untuk ketiga kalinya, Sultan kawin dengan anak seorang biarawan yaitu Puti Sedayu.
Tahun 1147 dikenal sebagai tahun keberuntungan, Puti Cinto Dunie melahirkan seorang putra bernama Warama Dewa di beri gelar Dt. Bandaro Kayo berkedudukan di Pariangan. Berikut Puti Sedayu melahirkan pula seorang putra bernama Reno Sidha bergelar Dt. Maharajo Basa (1148). Ditahun ini pula Ibu Suri Puti Indo Jalito melahirkan seorang putra bernama Sutan Paduko Basa yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang orang minangkabau I yaitu Dt. Katumanggungan. Tahun 1150 Sri Sultan Maharaja Diraja wafat, beliau sementara digantikan oleh Ibu Suri Puti Indo Jalito dibantu oleh penasehat kerajaan, Indra Jati bergelar Jati Bilang Pandai.
Atas dorongan keluarga istana, Puti Indo Jalito kawin dengan Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan ini beliau memperoleh putra bernama Jatang Sutan Balun yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang orang Minangkabau ke II yaitu Dt. Perpatih Nan Sabatang. Putra ke II Sakalok Dunia yang kemudian bergelar Dt. Sri Perpatih Nan Banego-nego, Puti Reno Judah, Puti Jamilah dan Mambang Sutan yang bungsu. Runtuhnya Kerajaan Koto Batu, memebuat Puti Indo Jalito memeindahkan kerajaannya ke Dusun Tuo (St. Mahmud 1978 : 18). Dari sinilah Ibu Suri dan Cati Bilang Pandai melaksanakan pemerintahan sampai tahun 1186.
Tahun 1174 Ibu Suri bersama Cati Bilang Pandai sebagai berikut (Bustanul 2000 : 25):
- Dt. Katumangguangan menjadi raja di Bungo Satangkai dengan pusatnya Sei. Tarab.
- Dt. Parpatih Nan Sabatang mengayomi masyarakat di Limo Kaum.
- Dt. Sri Marajo Nan Banego-nego, menetap di Pariangan sebagai hakim yang mengadili sengket atau perkara ditengah masyarakat.
- Dt. Suri Dirajo, menetap di Pariangan bertanggung jawab dalam pembinaan moral masyarakat.
- Dt. Bandaro Kayo, berkedudukan di Pariangan sebagai pemelihara harta kekayaan kerajaan.
- Dt. Marajo Basa menetap di Padang Panjang sebagai pengawas keamanan (hamba hukum).
0 Komentar untuk "Kerajaan Minangkabau"